PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL DITEMPAT KERJA
Dasar :
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual;
- Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Di Tempat Kerja.
Kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk dari pelanggaran hak asasi manusia. Korban kekerasan seksual tidak terbatas pada perempuan saja, namun juga laki-laki, lansia, maupun anak-anak.
Hukum Indonesia pun memiliki pasal-pasal yang mengatur kekerasan seksual. Sebagai konstitusi, UUD 1945 mengatur masalah ini secara tersirat dalam Pasal 28G dan Pasal 28I.
Dalam Pasal 28 G, setiap orang berhak atas perlindungan diri, kehormatan dan martabat, serta rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
Sementara dalam Pasal 28I menyebut setiap orang memiliki hak untuk tidak disiksa dan mendapat perlakuan diskriminatif. UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mengatur perihal hak warga negara untuk bebas dari kekerasan seksual.
Dalam Pasal 4 menyebut adanya hak setiap orang untuk hidup, tidak disiksa dan tidak diperbudak. Selama ini, penanganan kasus tindak kekerasan seksual mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dalam KUHP, ada banyak pasal yang mengatur kekerasan seksual. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang merusak kesusilaan dan kesopanan (Pasal 281, 282, 283, 283 bis), pemerkosaan (Pasal 285, 286, 287, 288), pencabulan (Pasal 289, 290, 292, 293, 294, 295), memperdagangkan orang (Pasal 296, 297, 506), serta pemaksaan aborsi (Pasal 299). Sementara itu, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT mengatur tentang kekerasan seksual dalam konteks pemerkosaan atau pemaksaan hubungan seksual terhadap istri atau orang yang tinggal serumah. Aturan ini tertuang dalam Pasal 8.
Kekerasan seksual terhadap anak juga diatur dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 76D dan 76E tentang pemerkosaan dan pencabulan.
Kekerasan Seksual Di Tempat Kerja
A. Bentuk Kekerasan Seksual
1. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdapat 9 (sembilan) bentuk
tindakan kekerasan seksual, yaitu:
a. Pelecehan Seksual nonfisik;
b. Pelecehan Seksual fisik;
c. Pemaksaan kontrasepsi;
d. Pemaksaan sterisasi;
e. Pemaksaan perkawinan;
f. Penyiksaan seksual;
g. Eksploitasi seksual;
h. Perbudakan seksual; dan
i. Kekerasan seksual berbasis elektronik.
2. Kekerasan seksual merupakan sikap/pernyataan/Tindakan yang merendahkan martabat manusia. Oleh sebab itu, bisa
berdampak negatif baik pada korban maupun lingkungan kerjanya. Beberapa bentuk kekerasan seksual yang sering terjadi
di Tempat Kerja:
a. Pelecehan Seksual nonfisik adalahperbuatan seksual nonfisik yang ditujikanterhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau
organ reproduksi dengan maksdu merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau
kesusilaan, antara lain:
1. Pelecehan verbal atau lisan yang merupakan komentar bernada seksual, lelucon yang bersifat ofensif, ungkapan yang
bersifat menghina mengenai kehidupan pribadi atau bagian tubuh atau penampilan seseorang;
2. Pelecehan isyarat atau visual yang merupakan Bahasa tubuh dan/ayau Gerakan tubuh yang menyiratkan sesuatu yang
bersifat seksual, mendelik, mengerling atau bersiul yang dilakukan berulang-ulang, isyarat dengan jari, dan menjilat
bibir serta melirik atau menatap penuh nafsu;
3. Pelecehan psikologis atau emosional yang merupakan permintaan, ajakan rayuan yang berulang-ulang dan tidak
diinginkan, ajakan kencan yang tidak diharapkan, penghinaan atau celaan yang bersifat seksual.
b. Pelecehan Seksual fisik, merupakan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual
dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas,
antara lain mencium, menepuk, mencubit, dan menempelkan tubuh penuh nafsu.
c. Pelecehan Seksual berbasis elektronik, dilakukan oleh Pelaku yang tanpa hak:
1) Melakukan perekaman dan/atau mengambil gambar atau tangkapan layer yang bermuatan seksual di luar kehendak
atau tanpa persetujuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layer;
2) Mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak
penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual; dan/atau
3) Melakukan penguntitan dan/atau pelacakan menggunakan system elektronik terhadap orang yang menjadi objek
dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual.
B. Pelaku Kekerasan Seksual
Pelaku Kekerasan Seksual di tempat kerja adalah pihak yang diadukan meliputi Pengusaha, Pekerja/Buruh. dan/atau pihak
terkait lainnya yang sedang berada di Tempat Kerja.
C, Korban Kekerasan Seksual
Korban Kekerasan Seksual di tempat kerja meliputi Pekerja/Buruh, Pengusaha, dan/atau pihak terkait lainnya yang sedang
berada di Tempat Kerja.
D. Lingkup Terjadinya Kekerasan Seksual
Lingkup terjadinya kekerasan seksual di tempat kerja atau yang berhubungan dengan tempat kerja misalnya di kendaraan
antar jemput Pekerja/Buruh, atau di tempat lain.
E. Pencegahan Kekerasan Seksual, Pengaduan , Penanganan, Pemulihan Korban Kekerasan Seksual, Satuan Tugas
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja
Terkait hal ini diatur dalam BAB III, BAB IV dan BAB V pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor 88
Tahun 2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Di Tempat Kerja.
Pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2023 tentang Pedoman Pencegahan dan
Penanganan Kekerasan Seksual Di Tempat Kerja pada BAB V huruf A angka 1 (satu) disebutkan “Perusahaan wajib
membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja (Satuan Tugas)”.